Wednesday, May 30, 2012

Tomy Winata Bangun Gedung Tertinggi Kelima di Dunia

Tomy Winata Bangun Gedung Tertinggi Kelima di Dunia
Pengusaha Tomy Winata (kiri) semasa Pemerintahan SBY-Kalla. Ia diskusi serius dengan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu (tengah) dan MS Hidayat yang waktu itu Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Mereka hendak mengikuti sidang kabinet paripurna di kantor Menteri Sekretaris Negara, Jakarta. Saat itu, sidang dipimpin Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla membahas antisipasi keuangan dan perekonomian global.
JAKARTA — Sebuah berita menarik mencuat Rabu pekan lalu. PT Danayasa Arthatama Tbk, anak usaha Artha Graha Network, milik Tomy Winata, menyediakan dana hampir Rp 20 triliun untuk membangun gedung tertinggi kelima di dunia. Dengan tinggi 638 meter dan 111 lantai, gedung ini di antaranya digunakan untuk hotel supermewah dan perkantoran.

Hal menarik, Tomy Winata merupakan usahawan dengan kalkulasi bisnis tinggi bersedia membangun gedung bernama Signature Tower ini. Seperti diketahui, membangunnya dan mengisinya merupakan dua hal berbeda. Ketika gedung kembar Petronas dibangun, Perdana Menteri Mahathir Mohamad (waktu itu) sampai mengajak badan usaha milik negara pindah ke gedung itu. Para usahawan lain diajak pula karena ruang kosong di dua gedung itu masih banyak. Usaha ini baru berhasil sepenuhnya menjelang tahun keempat gedung Petronas.

Masalah yang kerap mengemuka, sewa gedung elite itu amat mahal, bisa satu setengah sampai satu tiga perempat kali lebih mahal dibanding gedung megah lain. Namun, bisa jadi, karena tertarik efektivitas, para usahawan bersedia menyewa tempat itu untuk menjadi markas baru perusahaan mereka.

Pembangunan gedung pencakar langit merupakan perpaduan besarnya kapital, nyali, teknologi, dan bisnis. Butuh teknologi canggih untuk meluncurkan air dari permukaan tanah ke lantai 111. Dalam cara lama, air naik sampai, sebutlah, ke lantai 30. Di sini ada penampungan air khusus, lalu menggunakan pompa lagi meluncurkannya ke lantai 60. Lalu naik ke lantai 90 dan seterusnya. Bisa dibayangkan energi yang dikerahkan untuk memompa air ke ketinggian 638 meter? Pengamanan ekstra pun mutlak agar tidak sampai terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki.

Aspek yang tidak kalah pentingnya, berapa tahun ikhtiar mengembalikan modal senilai Rp 20 triliun itu? Lima tahun? Lima belas tahun? Tidak ada garis waktu yang jelas, sebab semua tergantung cara penjualan gedung dan seberapa laku gedung itu. Ini hal yang membutuhkan daya tahan (endurance) kuat. Untuk diketahui, membuat gedung 50 lantai diisi penuh pembeli atau penyewa butuh waktu tiga sampai enam tahun.

Beberapa aspek ini hanya catatan-catatan kecil. Masih banyak aspek yang perlu diperhatikan. Namun, marilah kita melihat pembangunan gedung pencakar langit itu dari pesona positif. Misalnya, akan ada beberapa ribu orang bekerja langsung dengan pembangunan gedung dan sekitar 70.000 orang secara tidak langsung bersentuhan dengan pembangunan Signature Tower. Akan terjadi perputaran uang yang amat besar, yang akan membuat perekonomian Ibu Kota lebih bergairah.

Marilah pula dengan raut positif kita melihat bahwa kalau gedung itu selesai dibangun, akan membuat wajah Ibu Kota lebih memesona. Akan membuat Jakarta memiliki ikon baru yang menakjubkan. Bayangkanlah, di antara gedung-gedung tinggi di sentra bisnis Jakarta, mencuat satu gedung yang tingginya 638 meter. Gedung 101 di Taipei, Petronas di Kuala Lumpur, Burj Al Arab Dubai, Sears Tower Chicago, gedung IFC di Hongkong, ”putus semua”, dan mereka mesti ”menengadah” untuk melihat gedung di Jakarta ini. Turis asing otomatis akan lebih kerap ke Jakarta, di antaranya untuk melihat gedung ini.

Kalau CNN, CNBC, atau BBC News hendak memasang foto untuk melukiskan Jakarta, tidak lagi mengambil gambar di daerah marjinal, tetapi foto gedung ini, seperti sudah mereka lakukan untuk Hongkong, Taipei, Kuala Lumpur, Chicago, dan sebagainya.

Sumber : KOMPAS.com

No comments:

Post a Comment